1. LATAR BELAKANG SEJARAH
Mengikuti perjalanan sejarah umat Katolik di Nanggulan terlihat bahwa campur tangan Tuhan terjadi melalui banyak cara dan banyak orang. Ternyata di tempat ini (Nanggulan) dipertemukan dua arus besar pewartaan misi yaitu Misi yang bersumber dari Mendut → Boro → (Kenteng) Nanggulan, dan kemudian Misi yang tahun-tahun berikutnya mengalir kuat dari Yogyakarta (Kotabaru) → Gubug/Sedayu → Wijilan (Nanggulan). Oleh karena itu tidak mengherankan jumlah umat Katolik semakin bertambah dan semakin menuntut perhatian secara khusus. Hal ini dibaca oleh Romo FX. Satiman SJ dan dikuatkan oleh Romo J. Prenthaler, SJ untuk diwujudkan dengan membuat suatu pusat pelayanan yang ditandai dengan bangunan gereja di Nanggulan (1936). Sejarah juga menunjukkan kuatnya kerelaan tokoh-tokoh pendahulu dalam mewujudkan munculnya gereja di Nanggulan.
Gagasan muncul dari Bapak Sebastianus Sutodimedjo untuk mendirikan gedung gereja di wilayah Nanggulan. Gagasan ini ternyata didukung oleh seluruh umat Nanggulan pada waktu itu. Gayung bersambut, ternyata gagasan itu mendapat tanggapan yang baik dari Romo Prenthaler, S.J. selaku Romo Kepala Paroki Boro. Pada tahun 1934, Romo Prenthaler, S.J. menugasi Romo F.X.Satiman,S.J., Romo Pembantu Paroki Boro – yang memang bertugas di wilayah Nanggulan hampir 5 tahun untuk membeli sebidang tanah di kawasan Nanggulan.
Sebelum membeli tanah yang dimaksud, Romo F.X. Satiman,S.J. membahasnya bersama Bapak Sutodimedjo, Mbah Pait, serta Bapak Setrodrono. Beliau minta ijin kepada Ndara Wedana Kawedanan Nanggulan – seorang pribumi , namun keinginan Beliau ditolak. Untuk itu Beliau menjawab (kira-kira begini), ” Saya orang pribumi, mengapa saya tidak diperbolehkan membeli dan memiliki tanah di negeriku sendiri?” Merasa diperlakukan kurang adil, maka Bapak Sebastianus Sutodimedjo – seorang abdi Dalem Kraton Ngayogyahadiningrat – bersama Romo F.X. Satiman, S.J. menghadap Sri Sultan Hamengku Buwono VIII untuk melaporkan hambatan dalam pembelian tanah untuk gedung gereja Katolik di Nanggulan. Sri Sultan Hamengku Buwono VIII memperhatikan keluhan tersebut dengan memberi surat untuk dibawa ke Gubernur Adam. Pada tahun 1935 keinginan memiliki sebidang tanah untuk gedung gereja di kawasan Nanggulan terkabulkan. Bapak Adi Asmoro – putera Bapak Setrodrono – dengan suka rela menyediakan tanahnya di Karang seluas 4.000 meter persegi dengan harga 34 gelo. Status tanah tersebut anas nama Gereja Katolik Boro. Bapak Adi Asmoro bertempat tinggal dekat Kawedanan Nanggulan (kini Kecamatan Nanggulan). Tidak lama kemudian di atas tanah tersebut didirikan brak untuk pembangunan gedung gereja. Namun, berhubung belum ada ijin dari pemerintah kolonial Belanda, brak tersebut buru-buru dibongkar. Hambatan perijinan ini timbul karena pihak pemerintah kolonial Belanda lebih cenderung pada penyebaran Agama Kristen Protestan. Masalah yang dihadapi ini kemudian oleh Romo F.X. Satiman, S.J. dilaporkan kepada Romo Strater, S.J. di Gereja Kota Baru. Atas laporan ini kemudian Romo F. Strater, S.J. berkenan membantu menguruskan ijin pendirian gedung gereja dari pemerintah kolonial Belanda, dan beliau berhasil memperoleh ijin untuk mendirikan gedung gereja Katolik di Pedukuhan Karang.
Dengan ijin tersebut pembangunan gedung gereja dimulai. Peletakan batu pertama dilakukan pada tanggal 13 Januari 1936. Biaya pembangunan semua ditanggung oleh pihak Keuskupan Batavia. Orang-orang yang juga ambil bagian dalam pembangunan gereja Nanggulan diantaranya adalah Bapak Prawirokoro sebagai pelaksana dan penyedia material. Untuk masalah birokrasi juga terlibat di dalamnya Bapak B. Sinangjoyo sebagai satu-satunya orang katolik yang bekerja di pemerintahan.
Gereja yang berdiri di Karang ini diberi nama Gereja Katolik Santa Perawan Maria Tak Bercela. Gedung gereja ini diberkati oleh Bapa Uskup Mgr. P.J. Willekens, SJ, Vikaris Apostolik Batavia ( Keuskupan Batavia ) pada tanggal 5 Juli 1936. Misa pemberkatan ini dihadiri oleh 1.500 umat. Sedangkan peringatan Santa Pelindungnya, Santa Perawan Maria Tak Bercela jatuh pada tanggal 8 Desember.
Berikut adalah sebuah prasasti yang ditemukan dalam sebuah kertas dengan tulisan tangan, menggunakan huruf latin dan disimpan dalam salah satu besi yang ditanam dalam pondasi gereja. Tulisan ini ditemukan saat gereja direnovasi tahun 1998.
A.M.D.G.
Anno Salutis millesimo nongentesimo trigesimo sexto, die dicimo tertio ….Januarii,
Anno decimo, tertio per …….cotus Pii XI Pontificis Maxi secundo illustrissimi,
Domini Petri Willekens vicariatum apostolicus Bataviae genetris,
Anno primo Superioris missioanis Josevi Van Book,
Regina Wilhelmina anno…………. Mo septimo feliciter Rec………….
Decimo quinto Sultanatus Hamiengkoeboewana VIII,
Anno secundo gebernii generalis Jhr. Mr B.C. de Jong,
Anno secundo gubernii Mr. Bijleveldt,
me in honorem Beatae ……. Immaaculatae Conceptionis………….
Dei gloriam et Salutis ……………….
J. Prennthaler, SJ FX. Satiman, SJ
C. Teppema, SJ P. Pawiro
B. Sinangjoyo ……………
Terjemahan Prasasti Gereja tahun 1936
A.M.D.G. (Demi kemuliaan Tuhan yang sebesar-besarnya)
Pada tahun rahmat, seribu sembilanratus tiga puluh enam, tanggal tigabelas Januari,
Pada tahun ke tigabelas kepausan Pius XI sebagai Gembala Agung,
Seturut ijin Yang Mulia Petrus Willekens, Vikaris Apostolik Batavia,
Pada tahun pertama Superior Misi Yosef va Book,
Ratu Wilhelmina pada tahun pemerintahannya yang ke tujuhbelas ………
Tahun ke limabelas Sultan Hamengkubuwana VIII,
Tahun kedua pemerintahan umum Jhr, Tuan de Jong,
Pada tahun ke dua Gubernur gendral Mr. Bijleveldt,
Saya, demi kemuliaan Santa Perawan Maria Yang Terkandung Tanpa Noda,
Demi Kemuliaan Tuhan dan keselamatan …………………(tidak jelas: “mungkin berbunyi mendirikan gereja ini”)
J. prennthaler, SJ FX. Satiman, SJ
C. Teppema, SJ P. Pawiro
B. Sinangjaya …………………
2. PERIODISASI SEJARAH SINGKAT
2.1. Periode Awal – 1936 : Benih Sabda di Ladang Baru
Sejarah awal umat Katolik Nanggulan nampak dalam periode ini, dengan dipuncaki berdirinya gedung gereja Nanggulan.
2.2. Periode 1936 – 1956 : Gereja Nanggulan dalam 20 Tahun Pertama
Setelah gedung gereja diberkati oleh Mgr. Willekens dan digunakan sebagai tempat ibadah resmi umat katolik, maka sejarah gereja Nanggulan mulai dengan sejarah pelayanan yang sedikit lepas dari Boro. Umat tidak lagi mengikuti misa di Boro tetapi dilayani oleh romo-romo yang tinggal di pastoran Boro. Namun begitu seluruh pelayanan administrasi (baptisan, krisma, perkawinan, dll) masih menjadi satu dengan Boro. Oleh karena itu dalam banyak hal masih kental dengan gereja Boro. Untuk lebih menunjuk pada situasi umat setelah gereja diberkati maka berikut disampaikan situasi umat dan perkembangan gereja mengikuti keadaan sosial pemerintahan saat itu.
2.3. Periode 1956 – 1967 : Paroki Muda di Tengah Situasi Politik
Gereja Nanggulan mulai menjadi paroki sendiri pada tanggal 25 Maret 1956, yang ditandai dengan pembentukan Pengurus Gereja Papa Miskin (PGPM) Paroki Nanggulan. Periode ini menggambarkan keadaan umat di tengah situasi politik sekitar tahun 1960- an.
2.4. Periode 1967 – 1977 : Gereja Basis dan Kaum Awam
Selaras dengan gerakan umat yang hidup dan diperjuangkan oleh Keuskupan Agung Semarang yaitu berusaha mendasarkan pelayanan dengan memberi peluang besar kepada kaum awam, maka gerakan ini ditangkap sebagai kesempatan partisipasi awam. Namun untuk usaha ini harus diciptakan iman yang kuat dan mendalam. Umat diajak semakin mantap dalam memilih agama Katolik
2.5. Periode 1977 – 1998 : Gereja di Tengah Sosial Masyarakat
Pada periode ini, Gereja bukanlah kelompok tertutup. Gereja harus tampil dalam suka duka kegembiraan dan kegagalan yang dialami oleh umat dan masyarakat. Romo Ambrosius Adiwardojo,Pr (1977- sd. 31 Desember 1998) adalah pribadi yang sangat kuat menerjemahkan pelayanan pastoral Paroki di tengah masyarakat umum. Gereja tampil dalam dalam kegembiraan dan kecemasan masyarakat. Gereja bukan sekedar kegiatan ritual semata, tetapi gereja juga dapat hadir dalam kehidupan umum masyarakat.
2.6. Periode 1998 – sekarang : Periode Penataan Kompleks Gereja dan Pastoral Data
Kebijakan menata bangunan seputar kompleks gereja dipengaruhi oleh kondisi bangunan gereja yang sudah mulai kelihatan tua dan banyak masalah (bocor, usang, lebih rendah dari jalan raya), dan ditambah lagi pengaruh penataan keindahan dan fungsional bangunan. Situasi masyarakat di sekitar Nanggulan juga mempengaruhi penataan ulang bangunan-bangunan di sekitar tanah gereja
Penataan bangunan seputar kompleks gereja dimulai setelah ada Surat Ijin Keuskupan Agung Semarang Nomor 637/B/ I / b/ 98 tertanggal 8 September 1998. Pada tahun 1998 renovasi yang berarti mulai dilaksanakan dengan rencana 3 tahap, yaitu:
Penataan gedung gereja dan lingkungannya dilaksanakan dalam 3 (tiga) tahap:
2.6.1. Tahap I (pertama) : penambahan bangunan gereja
Gereja lama dirasa sudah tidak mampu lagi menampung umat yang ikut beribadah ,apa lagi untuk hari-hari besar. Untuk menampung luapan umat tersebut diperlukan tambahan bangunan baru di depan gereja lama. Pemberkatan gedung hasil renovasi tahap I dilaksanakan oleh Bapak Uskup Mgr. I. Suharyo pada Minggu Legi tanggal 16 Januari 2000.
2.6.2. Tahap II (kedua) : renovasi pastoran
Merenovasi gedung pastoran lama yang ada di sebelah utara gereja. Namun dalam perkembangannya membangun gedung pastoran baru di sebelah selatan gereja, Pemberkatan gedung hasil renovasi tahap II dilaksanakan oleh Bapak Uskup Mgr. I. Suharyo pada Minggu tanggal 12 September 2004.
2.6.3. Tahap III (kedua) : peninggian gereja lama
Untuk menyesuaikan dengan bangunan gereja baru, gereja lama perlu ditinggikan dengan tetap mempertahankan bentuk ‘joglo’ pada bagian altar. Pemberkatan gedung hasil renovasi tahap III dilaksanakan oleh Bapak Uskup Mgr. I. Suharyo pada Sabtu Kliwon, 9 Desember 2006.
Disadari perlunya membuat mekanisme penggembalaan yang tertib dan didukung oleh admninstrasi yang baik. Usaha ini diawali dengan penataan administrasi kantor sekretariat. Paroki Nanggulan mulai mempunyai sekretaris paroki, Ibu V. Sri Handayani. Pencatatan permandian, krisma, pernikahan menjadi lebih tertib setelah sekian lama sempat mengalami masa yang sedikit suram.
Dalam pastoral data ini juga menuntut mekanisme kedewanparokian menjadi hal yang perlu dipikirkan dan dilaksanakan lebih teratur. Laporan keuangan serta penyetoran kolekte ke Keuskupan Agung Semarang ditertibkan. Rapat Dewan Paroki Harian dan Dewan Paroki Inti dilaksanakan secara tertib dan berkala dengan mengacu pada Pedoman Dasar Dewan Paroki. Ke depan Paroki Nanggulan harus kembali kepada gereja yang tertib dalam administrasi dan mekanisme pelayanan.
Seiring dengan ajakan Keuskupan dalam rangka pelaporan keuangan paroki yang accountable maka diupayakan pula studi-studi pelaporan keuangan dan pengelolaannya. Butuh keseriusan dan keterbukaan sehubungan amat terbatasnya sumber daya manusia di paroki yang menguasai system pelaporan yang baik. Namun demi masa depan yang terbuka maka ini pun menjadi prioritas pastoral.
Kagum dan syukur atas komitmen, dedikasi dan ketajaman hati para tokoh pendahulu, baik imam ataupun awam dalam membaca dan menangkap tanda-tanda jaman yang tak lain adalah karya Roh Allah untuk menjadikan Gereja-Nya hadir di Nanggulan. Pusat pertemuan arus pewartaan yang terwujud dalam bentuk gedung gereja itu harus dijaga, ditata, dan tetap harus menjadi tempat yang menguatkan iman yang sudah tumbuh, berkembang dan terus akan berbuah.
Untuk tahun-tahun mendatang yang kiranya amat dibutuhkan dan terus dikembangkan adalah pembelajaran bersama bahwa Gereja adalah Gereja Umat Allah. Partisipasi umat menjadi tanda kehadiran Kristus dalam Gereja-Nya. Usaha lain guna mendukung hal ini adalah pembelajaran paham-paham atau ajaran Gereja Katolik yang semakin membuka pandangan umat dan menguatkan iman umat di tengah kompleksitas kehidupan ini. Usaha-usaha ini akan mampu mengimbangi perkembangan sosial ekonomi yang terus berubah di seputar Nanggulan. Dengan begitu Gereja ditampakkan dalam diri umat yang hidup senantiasa menjadi saksi kehidupan yang baik dalam mewartakan kebenaran.